Welcome to My Website. I studied engineering but later became a journalist, who then "rewarded" me with a Master's degree in Finance & Accounting ... but in the last 10 years, I trained and shared COMMUNICATION skills - not about money, or building materials. I fell in love with this knowledge, then deepened it scientifically as a Master in Communication Science. Now, I teach from Interpersonal, Self-Concept, Creative Writing, Family Communication to Media Handling Skills in corporations, government, and campus. That is ... my life is full of surprises and unusual dynamics.To know more about me, please follow my FB&IG at Feby.Siahaan

Berdarah-darah di Sawarna, Ujung Genteng (Part 2)

[episode sebelumnya]

Hari kedua di Sawarna.

Ini semestinya hari yang berbahagia.

Jam 5 pagi, belum juga sikat gigi kami sudah berlari lari ke pantai. Secara semalamnya cuma bisa mendengar suara ombak yang berderu deru. *sangkir berderu-derunya berkali kali saya nanya ke ponakannya Pak Ade, ini setiap hari bunyinya dasyatt begini.....ato jangan2 mo tsunami. Gubrakkkkkk!!!! kalo tsunami juga pasrah sih....mo kemana malam gelap tanpa listrik begini hehehe*

Selepas main main dipantai, kami balik dulu ke penginapan. Apa lagi kalau bukan untuk menikmati sarapan ibu Widi yang ciamiiiikkkk...slrrrppp. Oiya, disini nginapnya "Full Board" ya. Jadi bayar per orang (waktu itu Rp 80 ribu) udah incl sarapan, makan siang, makan malam dan snack. Yihaaaaaaaa!!!! sedappppp.

Jam 10-an kami mulai trekking melewati deretan persawahan. Hijauuuuuuu....permaiiiiiiii.


Setelah warna warna hijau, saatnya menikmati si biru. Dashyattttt mennnnnn. Sambil bernyanyi2 keciil dan lelompatan ceria (ceileee kaya dongeng HC Andersen) kami menyusuri jalan pasir ilalang, sekitar 300 meter dari bibir pantai.


Dan, tibalah pada destinasi pertama. Karang beureum.




Tidak seperti pantai pada umumnya yang ber'lantai' pasir, maka pantai Karang Beureum ber'lantai' karang merah tua (nyaris hitam) yang bergerigi. Tajam bo! jangan sok jago nyeker dehhh...bisa bedarah-darah ntar.

Dan, inilah kebodohan yang kulakukan:  lantai karang tajam ini berujung pada laut selatan yang alamakjang gede ombaknya. Waktu kami menyusuri karang (menuju ke laut), para abah2 yang dipantai sudah mengingatkan "hati hati mbak....ombaknya lagi gede banget. Bisa keserett.....ga usah sampai kesana-sana."

Namun hasrat untuk berpoto itu mengalahkan bahaya maut.

Saya dan tiga teman lain (yang satu tidak mau ketengah, karena takut keseret) bondo nekat menuju keujung...yang kebetulan ada batu karang panjang memanjang.

"Wahhh kalo kita bediri disitu, latar belakangnya ombak keren tuhhhh.........." teriak saya ke teman teman.

Tak lama, kami berdiri diatas batu karang yagn ternyata ujungnya tidak rata. Jadi sebenarnya sangat sangat berbahaya berdiri diatasnya karena kuda-kuda kaki kita tidak akan kokoh berdiri.

"Potoooinn...innnnnnn," saya berteriak ke teman yang dipantai supaya segera mengambil gambar. Secara suara ombak berderu-deru dibelakang saya ini agak bikin 'jiper' juga cuyyyyyyyy. Kek mo nelen orang suaranya.

Saya mengangkat kedua tangan saya.....berpose....siap siap difoto ketiga tiba-tibaa............suara gemuruh terdengar begitu kencang dibelakang telinga saya.

Saya panik, tapi tetap berpikir logis. Saya yakin dalam 2 detik saya akan dihempas ombak ke lantai karang tajam didepan saya. Pilihannya: memegangi kaki tapi muka saya menghantam karang (uuuhhhhhh!!!!!!!!.......tak brani saya membayangkannya), atau saya melindungi muka dan belakang kepala (bagian otak) tapi kaki dan tangan babak belur.

Saya pilih yang kedua.

Maka dalam hitungan detik, kaki saya yagn kiri saya turunkan (karena kaki harus menginjak bidang rata supaya kuda-kuda kaki dan lutut kuat) sementara kaki kanan tetap diatas. Badan sedikit saya bungkukkan supaya stabil....dan "brrrruuuughhhhhhhhhhhhhhh".  *ga sia2 belajar fisika bertahun2 di SMA hehe*

Sesaat kemudian, yang terasa hanya rasa perihhhhh luar biasa.

Luka yang dalam tertusuk tusuk karang, plus garam laut membuat sakitnya sampai memuncak ke ubun ubun.  Entah gimana caranya, kedua sendal saya hilang terseret ombak Dengan telapak kaki telanjang.....telapak kaki saya langsung berhadapan dengan deretan karang bergigi tajam itu.  Juga telapak tangan saya yang menahan badan ke lantai karang, biar tidak terlalu dilempar oleh ombak.

Tantangan berikut adalah supaya tidak terseret arus balik ke laut. Karena telapak tangan kiri saya sudah berdarah-darah....saya pegang erat2 dengan tangan kanan permukaan batu karang yagn agak tinggi itu.

Dan, saya berhasil......walau tangan dan kaki saya bengkak, biru, lebam, berdarah, tertusuk....dan entah apa lagi.



- BERSAMBUNG -

1 komentar:

Anonim mengatakan...

hiiiiiiii.....ngeri bynginnyah